TA’ARUDH DAN TARJIH
I.
PENDAHULUAN
Ushul fiqih merupakan suatu ilmu tentang metode
yang sangat berguna bagi perkenbangan dan pengembangan hukum, meski disana sini
masih ada kelompok ulama yang mempersoalkan penggunaan ilmu itu.
Ilmu ushul fiqih ini merupakan suatu ilmu
yang tidak bisa diabaikan oleh para
mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash syariat islam,
konfradiksi antara dua nash dan memenangkan salah satu antara dua dalil itu yang dipermasalahan yang
sering diperdebadkan di zaman ini.
Untuk lebih jelasnya kami akan memperjelaskan
materi Ta’arudh Dan Tarjih
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengertian ta’arudh dan tarjih?
B.
Sebutkan macam-macam ta’arudh?
C.
Bagaimana langkah-langkah penyelaisaian ta’rudh?
D.
Apa saja insur-unsur dalam metode mentarjih
dan bagaiman prosedur mentarjih?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ta’arudh Dan tarjih
·
TA’ARUDH
Ta’arudh dalam arti terminologi adalah
Artinya:” kontradiksi dua dalil dalam satu hukum ’’.[1]
Sedangkan menurut istilah:
Artinya:’’Dua
nash tentangan yang masuk dalm satu (
hukum) dimana ketentuan salah satunya
menghalangi ketentuan dalil yang lain”.[2]
Pada dasarnya seperti ditegaskan wahbah zuhaili,
tidak ada pertentangan dalam kalam allah dan rosul-Nya. Oleh sebab itu, adanya
anggapan ta’arudh antara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan
mujtahid bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir ini, maka ta’arudh mungkin
terjadi pada dalil yang qath’i maupun dalil yang dzanni dan harus diadakan
pembahasan untuk memadukannya dengan cara-cara memadukan yang shohih.
·
TARJIH
Tarjih menurut bahasa adalah membuat suatu
cenderung atau mengalahkan. Menurut istilah adalah :
Artinya:
”Menampakan kelebihan salah satu dari dua dalil yang samaa dengan sesuatu yang
menjadikannya lebih utama dari yang lain”[3]
Pada intinya mentarjih yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.
Berdasarkan
definisi itu diketahui bahwa ada dua dalil yang
bertentangan dan akan di tarjih salah satunya adalah sama-sama dzanni.
Berbeda dengan itu menurut kalangan hanafiyah, ada dua dalil yang bertentangan
yang akn ditarjih salah satunya itu bisa jadi sama-sama qath’i atau sama-sama
dzanni. Oleh sebab itu mereka mendefinisikan tarjih sebagai upaya mencari keunggulan
salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain, dalam definisi itu tidak
dibatasi dengan dalil yang dzanni saja.
B.
Macam-Macam Ta’arudh
Ada 4 macam ta’arudh yaitu:
1.
Pertentangan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Misalnya dalam QS. An-nahl ayat 8 dinyatakan bahwa,
kuda, bighal dan keledai merupakan tunggangan dan perhiasan. Sedangkan dalam
QS. Al-mukmin ayat 79 dinyatakan bahwa binatang ternak itu untuk dikendarai dan
dimakan.
Pengertian binatang ternak (Al- an’am) meliputi kuda dan bighal. Karna itu
binatang tersebut dapat dikendarai dan dimakan.
Misalnya ketentuan lain dalam firman Allah QS. Al-baqharah: 234 yang
menyatakan bahwa istri yang ditinggal mati suaminya itu beriddah sealama empat
bulan sepuluh hari baik dalam keadaan hamil atau tidak.
Sedangkan dalam QS. At thalaq: 4 menyebutkan bahwa istri yang hamil melaksanakan iddahnya sampai
melahirkan, baik ditinggal mati suaminya atau ditalak.
Seorang istri yang ditinggal mati suaminyya dalam
keadaan hamil adalah suatu kejadian yang di tuntut oleh nash pertama untuk
beriddah selama empat bulan sepuluh hari dan dituntut oleh nash kedua untuk
beriddah sampai melahirkan. Jadi, dua nash itu bertentangan dalam kejadian ini.[4]
2.
Pertentangan antara Al-sunnah dengan Al-sunnah
Hadis riwayat Al bukhori - Muslim dari Aisyah dan Ummi Salamah
menyatakan bahwa Nabi SAW, masuk waktu subuh dalam keadaan junnub karena
jimak sedangkan beliau menjalankan
puasa, kemudian hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban dinyatakan bahwa Nabi SAW
melarang berpuasa bagi orang yang junub setelah subuh tiba.
3.
Pertentangan Al-Sunnah Dengan Al-Qiyas
Misalnya hadis yang menyatakan jual beli unta atau
kambing perah yang diikat putingnya agar
kelihatan besar, sedang jika dibeli dan
diperah air susunya terbukti sedikit (adanya penipuan), (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah). Semula
hadis itu memberikan dua alternatif , yaitu boleh diteruskan akadnya dengan
mengganti kurma satu sha’ itu lebih tepat diartikan denggan penggantaian air
susu perahnya yang masih ada, atau mengganti harga air susu yang diperasnya.
Sedangkan contohnya ta’arudl antara qiyas dengan
sunnah adalah aqiqoh untuk anak laki-laki lebih besar dari pada aqiqoh anak wanita. Jika
dianalogikan (qiyas) maka dua kambing sama dengan satu sapi.
4.
Pertentangan Antara Qiyas Dengan Qiyas
Misalnya perkawinan Nabi SAW pada Aisyah ketika ia berusia 6 th dan
mengumpulinnya usia 9 th ( HR. Muslim dari Aisyah).
Sedangkan bagi hanafiah hadis itu memperbolehkan bagi orang tua punya
hak ijbar, sedang bagi syafi’iah menganggap karena kegadisannya,jadi kalau ia
telah tasyyib (janda) sekalipun masih belum dewasa orang tua tidak mempunyai
hak ijbar ( paksa ).
C.
Langkah- Langkah Ta’rudh
·
Menurut kalangan Hanafiyah
a.
Dengan meneliti mana yang lebih dulu turunya ayat atau diucapkannya hadis
dan bila diketahui, maka dalil yang terdahulu
dianggap telah dinasakh (dibatalkan) oleh dalil yang datang belakangan.
b.
Jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu maka cara selanjutnya adalah
dengan tarjih, yaitu meneliti mana yang lebih kuat diantara dalil-dalil yang
bertentangan itu dengan berbagai cara-cara tarjih yang dijelaskan secara
panjang lebar dalm kajian ushul fiqih.
c.
Jika tidak bisa ditarjih karena sama-sama kuat, maka jalan keluarnya adalah
dengan mengkompromikan antara dua dalil itu.
d.
Jika tidak ada peluang untuk mengkompromikannya maka jalan keluarnya adalah
dengan tidak memakai kedua dalil itu, dan dalam hal ini seorang musjtahid
hendaknya merujuk kepada dalil yang
lebih rendah bobotnya. Misalnya, jika dua dalil yang bertentangan itu terdiri
dari ayat-ayat Al-Qur’an maka setelah tidak dapat dikompromikan hendaklah
merujuk kepada sunah Rasululaah, dan begitu seterusnya
·
Menurut Kalangan
Syafi’iah
a.
Dengan mengkompromikan dengan dua dalil itu selama ada peluang untuk itu,
karena mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari halnya mengfungsikan satu
dalil saja.
b.
Jika tidak dapat dikompromikan maka jalan keluarnya adalah dengan
mentarjih.
c.
Jika tidak ada peluang untuk mentarjih salah satu dari keduanya dengan
meneliti duantara keduanya mana yang lebih dulu datangnya. Jika sudah
diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah dinasakh (dibatalkan) oleh
dalil yang terkemudian
d.
Jika tidak mengetahui mana yang terdahulu, maka jalan keluarnya dengan
tidak memakai dua dalil itu dan dalam keadaan demikian, seorang mujtahid
hendaknya merujuk kepada dalil yang lebih rendah bobotnya.[5]
D.
Unsur-Unsur Dan Metode Mentarjih
·
Unsur-Unsur Mentarjih
Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalm metode tarjih
yaitu sebagai berikut:
a.
Adanya dua dalil.
b.
Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang
lain.
c.
Kedua dalil itu sama derajatnya.
d.
Kedua dalil itu sama kuatnya.
e.
Keduanya menetapkan hukun yang sama dalam satu waktu.
·
Prosedur Mentarjih
‘Ali ibn Saif al-Din al- Amidi (w.631 H) ahli ushul fiqh dari kalangan syafi’iyah menjelaskan secara rinci metode tarjih. Metode yang berhubungan dengan pertentangan antara dua nash atau lebih secara global adalah:
‘Ali ibn Saif al-Din al- Amidi (w.631 H) ahli ushul fiqh dari kalangan syafi’iyah menjelaskan secara rinci metode tarjih. Metode yang berhubungan dengan pertentangan antara dua nash atau lebih secara global adalah:
v
Tarjih dari segi sanad, tarjih dari sisi ini dilakukan antara lain dari
meneliti rowi yang menurut jumhur ulam
ushul fiqh, nadis yang diriwayatkan oleh prowi yanh lebih banyak jumlahnya,
didahulukan atas hadis yang lebih sedikit.
v
Tarjih dari segi matan, yang dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain
bila mana terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukun suatu masalah,
maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan.
v
Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua
dalil yang bertentangan. Dalil yang didukung oleh dalil yang lain termasuk
dalil yang merupakan hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat
dukungan
[1] Drs. H. Muchlis Usman,
MA,Kaidah-kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada 1993), hlm. 76
[2] Ibid,hlm. 77
[3] Ibid,hlm. 83
[4] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf,
Ilmu Ushul Fiqih,(Jakarta: Pustaka Amani,
2003) hlm. 337
[5] Prof. Dr . H. Satria
Effendi, M.Zein,M.A, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 239-241
Tidak ada komentar:
Posting Komentar