Selasa, 07 Oktober 2014

TA’ARUDH DAN TARJIH



TA’ARUDH  DAN TARJIH

       I.            PENDAHULUAN

Ushul fiqih merupakan suatu ilmu tentang metode yang sangat berguna bagi perkenbangan dan pengembangan hukum, meski disana sini masih ada kelompok ulama yang mempersoalkan penggunaan ilmu itu.
Ilmu ushul fiqih ini merupakan suatu ilmu yang  tidak bisa diabaikan oleh para mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash syariat islam, konfradiksi antara dua nash dan memenangkan salah satu  antara dua dalil itu yang dipermasalahan yang sering diperdebadkan di zaman ini.
Untuk lebih jelasnya kami akan memperjelaskan materi Ta’arudh  Dan  Tarjih

    II.            RUMUSAN MASALAH

A.    Apa pengertian ta’arudh dan tarjih?
B.     Sebutkan macam-macam ta’arudh?
C.     Bagaimana langkah-langkah penyelaisaian ta’rudh?
D.    Apa saja insur-unsur dalam metode  mentarjih  dan bagaiman prosedur mentarjih?

 III.            PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ta’arudh  Dan tarjih
·         TA’ARUDH
Ta’arudh dalam arti terminologi adalah

Artinya:” kontradiksi dua dalil dalam satu hukum ’’.[1]
 Sedangkan menurut istilah:



 Artinya:’’Dua nash  tentangan yang masuk dalm satu ( hukum) dimana ketentuan salah satunya  menghalangi ketentuan dalil yang lain”.[2]
Pada dasarnya seperti ditegaskan wahbah zuhaili, tidak ada pertentangan dalam kalam allah dan rosul-Nya. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’arudh antara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan mujtahid bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir ini, maka ta’arudh mungkin terjadi pada dalil yang qath’i maupun dalil yang dzanni dan harus diadakan pembahasan untuk memadukannya dengan cara-cara memadukan yang shohih.
·         TARJIH
Tarjih menurut bahasa adalah membuat suatu cenderung atau mengalahkan. Menurut istilah adalah :

Artinya: ”Menampakan kelebihan salah satu dari dua dalil yang samaa dengan sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain”[3]
Pada intinya mentarjih yaitu menguatkan salah satu dari  dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.
 Berdasarkan definisi itu diketahui bahwa ada dua dalil yang  bertentangan dan akan di tarjih salah satunya adalah sama-sama dzanni. Berbeda dengan itu menurut kalangan hanafiyah, ada dua dalil yang bertentangan yang akn ditarjih salah satunya itu bisa jadi sama-sama qath’i atau sama-sama dzanni. Oleh sebab itu mereka mendefinisikan tarjih sebagai upaya mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang lain, dalam definisi itu tidak dibatasi dengan dalil yang dzanni saja.
B.     Macam-Macam Ta’arudh
Ada 4 macam ta’arudh yaitu:
1.      Pertentangan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Misalnya dalam QS. An-nahl ayat 8 dinyatakan bahwa, kuda, bighal dan keledai merupakan tunggangan dan perhiasan. Sedangkan dalam QS. Al-mukmin ayat 79 dinyatakan bahwa binatang ternak itu untuk dikendarai dan dimakan.
Pengertian binatang ternak (Al- an’am) meliputi kuda dan bighal. Karna itu binatang tersebut dapat dikendarai dan dimakan.
Misalnya ketentuan lain dalam firman Allah QS. Al-baqharah: 234 yang menyatakan bahwa istri yang ditinggal mati suaminya itu beriddah sealama empat bulan sepuluh hari baik dalam keadaan hamil atau tidak.
Sedangkan dalam QS. At thalaq: 4 menyebutkan bahwa istri yang  hamil melaksanakan iddahnya sampai melahirkan, baik ditinggal mati suaminya atau ditalak.
Seorang istri yang ditinggal mati suaminyya dalam keadaan hamil adalah suatu kejadian yang di tuntut oleh nash pertama untuk beriddah selama empat bulan sepuluh hari dan dituntut oleh nash kedua untuk beriddah sampai melahirkan. Jadi, dua nash itu bertentangan dalam kejadian ini.[4]
2.      Pertentangan antara Al-sunnah dengan Al-sunnah
Hadis riwayat Al bukhori -  Muslim dari Aisyah dan Ummi Salamah menyatakan bahwa Nabi SAW, masuk waktu subuh dalam keadaan junnub karena jimak  sedangkan beliau menjalankan puasa, kemudian hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban dinyatakan bahwa Nabi SAW melarang berpuasa bagi orang yang junub setelah subuh tiba.
3.       Pertentangan  Al-Sunnah Dengan Al-Qiyas    
Misalnya hadis yang menyatakan jual beli unta atau kambing  perah yang diikat putingnya agar kelihatan besar, sedang jika dibeli  dan diperah air susunya terbukti sedikit (adanya penipuan), (HR.  Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah). Semula hadis itu memberikan dua alternatif , yaitu boleh diteruskan akadnya dengan mengganti kurma satu sha’ itu lebih tepat diartikan denggan penggantaian air susu perahnya yang masih ada, atau mengganti harga air susu  yang diperasnya.
Sedangkan contohnya ta’arudl antara qiyas dengan sunnah adalah aqiqoh untuk anak laki-laki lebih besar  dari pada aqiqoh anak wanita. Jika dianalogikan (qiyas) maka dua kambing sama dengan satu sapi.
4.      Pertentangan Antara Qiyas Dengan Qiyas
Misalnya perkawinan  Nabi SAW  pada Aisyah ketika ia berusia 6 th dan mengumpulinnya usia 9 th ( HR. Muslim dari Aisyah).

 Sedangkan bagi hanafiah  hadis itu memperbolehkan bagi orang tua punya hak ijbar, sedang bagi syafi’iah menganggap karena kegadisannya,jadi kalau ia telah tasyyib (janda) sekalipun masih belum dewasa orang tua tidak mempunyai hak ijbar ( paksa ).
C.     Langkah- Langkah  Ta’rudh
·         Menurut kalangan Hanafiyah
a.       Dengan meneliti mana yang lebih dulu turunya ayat atau diucapkannya hadis dan bila diketahui, maka dalil yang terdahulu  dianggap telah dinasakh (dibatalkan) oleh dalil yang datang belakangan.
b.      Jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu maka cara selanjutnya adalah dengan tarjih, yaitu meneliti mana yang lebih kuat diantara dalil-dalil yang bertentangan itu dengan berbagai cara-cara tarjih yang dijelaskan secara panjang lebar dalm kajian ushul fiqih.
c.       Jika tidak bisa ditarjih karena sama-sama kuat, maka jalan keluarnya adalah dengan mengkompromikan antara dua dalil itu.
d.      Jika tidak ada peluang untuk mengkompromikannya maka jalan keluarnya adalah dengan tidak memakai kedua dalil itu, dan dalam hal ini seorang musjtahid hendaknya merujuk kepada dalil  yang lebih rendah bobotnya. Misalnya, jika dua dalil yang bertentangan itu terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an maka setelah tidak dapat dikompromikan hendaklah merujuk kepada sunah Rasululaah, dan begitu seterusnya
·         Menurut  Kalangan Syafi’iah
a.       Dengan mengkompromikan dengan dua dalil itu selama ada peluang untuk itu, karena mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari halnya mengfungsikan satu dalil saja.
b.      Jika tidak dapat dikompromikan maka jalan keluarnya adalah dengan mentarjih.
c.       Jika tidak ada peluang untuk mentarjih salah satu dari keduanya dengan meneliti duantara keduanya mana yang lebih dulu datangnya. Jika sudah diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap telah dinasakh (dibatalkan) oleh dalil yang terkemudian
d.      Jika tidak mengetahui mana yang terdahulu, maka jalan keluarnya dengan tidak memakai dua dalil itu dan dalam keadaan demikian, seorang mujtahid hendaknya merujuk kepada dalil yang lebih rendah bobotnya.[5]
D.    Unsur-Unsur Dan Metode Mentarjih
·         Unsur-Unsur Mentarjih
Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalm metode tarjih yaitu sebagai berikut:
a.       Adanya dua dalil.
b.      Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain.
c.       Kedua dalil itu sama derajatnya.
d.      Kedua dalil itu sama kuatnya.
e.       Keduanya menetapkan hukun yang sama dalam satu waktu.
·         Prosedur Mentarjih
‘Ali ibn Saif al-Din al- Amidi (w.631 H) ahli ushul fiqh dari kalangan syafi’iyah menjelaskan secara rinci metode tarjih. Metode yang berhubungan dengan pertentangan antara dua nash atau lebih secara global adalah:
v  Tarjih dari segi sanad, tarjih dari sisi ini dilakukan antara lain dari meneliti rowi yang  menurut jumhur ulam ushul fiqh, nadis yang diriwayatkan oleh prowi yanh lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas hadis yang lebih sedikit.
v  Tarjih dari segi matan, yang dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain bila mana terjadi pertentangan antara dua dalil tentang hukun suatu masalah, maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan.
v  Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didukung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat dukungan  


[1] Drs. H. Muchlis Usman, MA,Kaidah-kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada 1993),  hlm. 76 
[2] Ibid,hlm. 77
[3] Ibid,hlm. 83
[4] Prof. Dr. Abdul  Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,(Jakarta: Pustaka Amani,  2003) hlm. 337
[5] Prof. Dr . H. Satria Effendi, M.Zein,M.A, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.  239-241 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar